KH Ahmad Dahlan sebelum menunaikan ibadah haji ke tanah suci bernama
‘’Muhammad Darwis’’. Seusai menunaikan ibadah haji, beliau diganti
namanya oleh Sayyid Abu Bakar Syata, ulama besar yang bermadhab Syafii.
Jauh sebelum menunaikan ibadah haji, dan belajar mendalami ilmu agama.
KH Ahmad Dahlan telah belajar agama kepada Syeh Sholeh Darat. KH
Sholih Darat adalah ulama’ besar yang telah bertahun-tahun ngaji dan
mengajar di Masjidilharam. Di Pondok pesantren milik KH Murtadho (sang
mertua), KH Sholih darat mengajar santri-santri beragama ilmu agama,
seperti; Alhilam (tasawof), Kitab Al-Munjiyah (Karya Syeh Sholih Darat),
Fikih (Kitab Lataif Al-Taharah), serta beragam ilmu agama lainnya. Di
pesantren ini, Mohammad Darwis ditemukan dengan Hasyim As’ary. Kedunaya
sama-sama mendalami ilmu agama dari ulama besar Syekh Sholih Darat.
Waktu itu, Mohmmad Darwis berusia 16 tahun sementara, Hasyim As’ary
berusia 14 tahun. Dalam keseharian, Mohamamd Darwis memanggil Hasyim
dengan sebutan ‘’Adi Hasyim’’. Sementara, Hasyim As’ary memanggil
Mohamamd Darwis dengan panggilan ‘’Mas Darwis’’. Konon,
semasa di
Pesantren, keduanya sekamar. Keduannya menjadi santri Syekh Sholih darat
sekitar 2 tahun penuh. Selepas nyantri di Pesantren Syekh Sholih
Darat. Keduanya mendalami ilmu agamanya di Makkah, dimana Sang Guru
Syekh Sholih Darat pernah menimba ilmu bertahun-tahun lamanya. Tentu
saja, sang Guru sudah membekali akidah dan ilmu fikih yang cukup.
Sekaligus telah memberikan referensi ulama-ulama mana yang harus
didatangi dan diserap ilmunya selama di Makkah. Puluhan ulama-ulama
Makkah waktu itu berdarah nusantara. Praktek ibadah waktu, seperti;
tasawuf, wirid, tahlil, membaca barzanzi (diba’) menjadi bagian dari
kehidupan ulama-ulama nusantara. Hampir semua karya-karya Syekh Muhmmad
Yasin Al-Fadani, Syekh Muhammad Mahfud Al-Turmusi menceritakan tentang
madhab al-Syafii dan As’aryiyah sebagai akidahnya. Tentu saja, itu
pula yang di ajarkan kepada murid-muridnya, seperti; KH Ahmad Dahlan,
Hasyim As’ary, Wahab Hasbullah, Syekh Abdul Kadir Mandailing dll
(lihat: Profil Pendidikan dan Ulama’ Indonesia di Makkah: Abd. Adzim
Irsad). Seusai pulan dari Makkah, masing-masing mengamalkan ilmu yang
telah diperoleh dari guru-gurunya di Makkah. Mohammad Darwis yang telah
di ubah namanya menjadi Ahmad Dahlan mendirikan persarikatan
Muhamamdiyah. Sedangkan Hasyim As’ary mendirikan NU (Nahdhotul Ulama’).
Begitulah persaudaraan sejati yang dibangun sejak menjadi santri Syekh
Sholih Darat hingga menjadi santri di Tanah Suci Makkah. Keduanya juga
membuktikan, kalau dirinya tidak ada perbedaan di dalam urusan
akidah, dan madhabnya. Saat itu di Makkah memang mayoritas bermadhab
Syafii dan berakidah Asary. Wajar, jika praktek ibadah sehari-hari KH
Ahmad Dahlan persis dengan guru-gurunya di tanah suci. Semisal sholat
subuh, KH Ahmad Dahan tetap menggunakan Qunut, dan tidah pernah
berpendapat bahwa Qunut sholat subuh Nabi Muhammad Saw adalah Qunut
Nazilah. Karena beliau sangat memahami ilmu hadis dan juga memahami
ilmu fikih. Begitu Tarawihnya, KH Ahmad Dahlan praktek Tarawihnya 20
rakaat. Penduduk Makkah sejak ber-abad-abad, sejak masa Umar Ibn
Al-Khttab, telah menjalankan Tarawih 20 rakaat dengan tiga witir,
hingga sekarang. Jumlah ini telah disepakati oleh sahabat-sahabat Nabi
Saw. Bagi penduduk Makkah, tarawih 20 rakaat merupakan Ijmak Sahabat.
Sedangkan penduduk Madinah melaksanakan 36 rakaat. Penduduk Madinah
ber-anggapan, setiap pelaksanaan 2 X salaman, semua beristirahat. Pada
waktu istirahat, mereka mengisi dengan thowaf sunnah. Nyaris,
pelaksanaan sholat tarawih hingga malam, bahkan menjelang shubuh. Di
sela-sela tarawih itulah keuntungan penduduk Makkah, karena bisa
menambah pahala ibadah. Bagi penduduk Madinah, untuk mengimbangi
pahala, mereka melaksanakan tarawih dengan jumlah lebih banyak. Jika di
lihat dari pengertiannya, sebagaimana di dijelaskan oleh al-HafizIbn
Hajar al-A’sqallâniy dalam kitab Fath al-Bâriy Syarh al-Bukhâriy sebagai
berikut: سُمِّيَتْ الصَّلَاة فِي الْجَمَاعَة فِي لَيَالِي رَمَضَان
التَّرَاوِيحَ لِأَنَّهُمْ أَوَّلَ مَا ِجْتَمَعُوا عَلَيْهَا كَانُوا
يَسْتَرِيحُونَ بَيْنَ كُلّ تَسْلِيمَتَيْنِ (فتح البارى في كتاب صلاة
التراويح) “Shalat jamaah yang dilaksanakan pada setiap malam bulan
Ramadhan dinamai Tarawih karena para sahabat pertama kali
melaksanakannya, beristirahat pada setiap dua kali salam. Istilah
Shalat Tarawih disebut juga shalat Qiyam Ramadhan, yang populer pada
masa Umar Ibn Al-Khattab ra. Dengan tujuan utamanya ialah, menghidupkan
malam-malam bulan Ramadhan dengan ibadah sholat. Shalat Tarawih
termasuk salah satu ibadah yang utama dan efektif guna mendekatkan diri
kepada Allah. Sebenarnya, menghidupkan malam Ramadhan, bukan saja
tarawih. Namun, sholat merupakan ibadah paling utama, dan ini telah
dilakukan oleh jumhur (sebagian sahabat Nabi Muhammmad Saw). Sesuai
dengan penuturan Nabi Saw yang artinya:’’ barang siapa menghidupkan
Ramadhan dengan Qiyam atas dasar Iman dan semata-mata karena mengharap
pahala Allah Swt, maka dosa-dosa akan mendapat ampunan (HR
Bukhori). Jadi, baik KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asary
tidak pernah ada perbedaan di dalam pelaksanaan ubudiyah. Ketua PP.
Muhammdiyah, Yanuar Ilyas ini menuturkan, KH. Ahmad Dahlan pada masa
hidupnya banyak menganut fiqh mahzab Syafi’i, termasuk mengamalkan
qunut dalam shalat subuh dan shalat tarawih 23 rakaat. Namun, setelah
berdirinya Majelis Tarjih pada masa kepemimpinan Kyai Haji Mas Mansyur,
terjadilah revisi – revisi, termasuk keluarnya Putusan Tarjih yang
menuntunkan tidak dipraktikkannya doa qunut didalam shalat subuh dan
jumlah rakaat shalat tarawih yang sebelas rakaat (Taqiyuddin
Al-Baghdady: Mutiara Sejarah Islam di Indonesia KH Ahmad Dahlan).
Sedangkan alasan yang dikemukan oleh dewan tarjih, karena Muhamamdiyah
bukan Dahlaniyah.
Jadi, hakekat sholat Tarawih yang diajarkan oleh ulama sekaliber KH
Ahmad Dahlan sudah sesuai dengan ajaran Nabi Saw dan sahabatnya (Ijma’
Sahabat). Praktek di Makkah dan Madinah hingga sekarang juga tetap 20
rakaat dan 3 witir. Jadi, melaksanakan Tarawih 20 rakaat ditambah dengan
3 wirit berarti melaksanakan kesepakatan ratusan sahabat Nabi Muhamamd
Saw, sekaligus bentuk kesetiaan terhadap Nabi Saw. Bagi pengikut
Muhammadiyah, menjadi bukti kesetiaan terhadap perintis dan penggagas
Muhamamdiyah sejati
No comments:
Post a Comment